Assalamualaikum ikhwah dan akhawat sekalian,
Sekatan dan kepungan yang dikenakan terhadap saudara kita, kaum Muslimin di Genting Gaza memiliki banyak persamaan dengan apa yang diceritakan oleh Allah swt di dalam surah Al-Buruj iaitu kisah kepungan terhadap kaum Muslimin di salah satu perkampungan di Yaman di mana mereka dihancurkan dengan cara dibakar.
Allah swt berfirman :
"Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan. Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit (iaitu pembesar-pembesar Najran di Yaman). Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu api. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan kerana orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS Al-Buruj : 1-9)
Jika pembakaran dalam peristiwa Ashabul Ukhdud dilakukan dengan kayu api, maka pembantaian di zaman ini dilakukan dengan berbagai cara seperti :
1. Bom.
2. Pesawat Terbang.
3. Granet.
4. Senjata-senjata terlarang seperti `Fosforus'.
Jika sekatan dan kepungan terhadap kaum Mukminin dalam kisah Ashabul Ukhdud didalangi oleh segerombolan orang Kafir yang zalim, maka sekarang, ianya dipimpin oleh orang-orang yang terkeji (Yahudi-Zionis) dari kalangan manusia, yang sangat memerangi kaum Mukminin.
Mereka juga berkonspirasi dengan orang-orang Musyrik untuk memerangi kaum Muslimin, tetapi Allah swt telah terlebih dahulu menunjukkan kezaliman mereka dalam Al Qur'an.
Allah swt berfirman:
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan kerana di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendita-pendita dan rahib-rahib. (juga) kerana Sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri." (QS Al-Maidah : 82)
Satu-satunya yang disebutkan oleh Allah sebagai penyebab kebencian kaum Musyrikin terhadap kaum Mukminin adalah keimanan mereka kepada Allah swt, sebagaimana firmanNya :
"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan kerana orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji." (QS Al-Buruj : 8)
Pada ketika ini, sekatan dan kepungan hanya berlaku kepada orang-orang yang menyatakan keimanan mereka secara terang-terangan. Sementara orang-orang yang membangun sistem sekular samada di Timur atau Barat, telah menjual prinsip-prinsip utama secara menyeluruh serta menggadaikan agama, justeru hidup di rumah mereka dengan aman dan tenteram!
Walaupun sekatan dan kepungan sepertimana dalam kisah Ashabul Ukhdud dan saudara-saudara kita di Genting Gaza sangat mirip, namun dalam dua peristiwa itu terdapat juga perbezaan yang cukup nyata. Oleh kerana itu, mari kita berhenti sejenak untuk merenunginya.
Kelompok kaum Mukminin dalam peristiwa Ashabul Ukhdud adalah dari kalangan kaum Nasrani yang dikepung di tengah-tengah kebisuan orang-orang Nasrani secara keseluruhannya. Namun, kebisuan itu tidak dapat menyelamatkan mereka sedikit pun dari kezaliman.
Kelompok-kelompok agama Nasrani juga mempunyai banyak perbezaan yang sangat mendasar di antara mereka. Perbezaan itulah yang menyebabkan hubungan emosional sesama mereka menjadi pudar. Akibatnya, berbagai peperangan kerap bergolak antara golongan Katolik dan Ortodoks, Katolik dan Protestan serta Gereja Ortodoks dengan Armenia, bahkan antara sesama kalangan Ortodoks sendiri kerap berlaku pertikaian.
Begitulah yang Allah swt sebutkan dalam firmanNya :
"Dan di antara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan." (QS Al-Maidah : 14)
Allah swt telah mengekalkan permusuhan di hati orang-orang Nasrani hingga hari kiamat kelak. Insiden-insiden pertikaian itu telah menyebabkan hilangnya sikap toleransi orang-orang Nasrani sehingga mendorong mereka melakukan pembakaran terhadap saudara-saudara sendiri di Yaman sana.
Namun, apakah yang menjadi alasan kaum Muslimin hingga membisu menyaksikan peristiwa yang berlaku di Palestin dan secara khususnya di Gaza?
Allah telah mempersatukan hati-hati mereka dan penyatuan ini merupakan nikmat termahal dari apa yang ada di permukaan bumi ini. Allah swt berfirman :
"Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)[ penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah dan mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang]. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nescaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Anfal : 63)
Allah juga menjadikan kasih sayang dan persaudaraan ini sebagai syarat untuk menjejaki jalan ke syurga. Kita tidak akan masuk syurga tanpa mencintai saudara-saudara kita.
Rasulullah saw bersabda :
"Demi Allah kamu tidak akan masuk syurga hingga kamu beriman dan kamu tidak akan beriman hingga kamu saling mencintai…." (HR Muslim)
Apakah alasan kita membiarkan mereka di tengah-tengah sekatan dan kepungan itu?
Sepatutnya :
1. Sakit yang mereka rasakan sama-sama dirasai sakitnya oleh kita.
2. Musibah yang menimpa mereka dirasai seperti musibah yang menimpa kita.
3. Penderitaan yang mereka alami dirasai sama oleh kita.
Rasulullah saw bersabda :
"Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta dan kasih sayang, ibarat satu tubuh yang apabila satu anggotanya menderita sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakannya dengan tidak boleh tidur dan demam." (HR Muslim)
Oleh kerana itu, jika penduduk bumi mempunyai alasan ketika berlakunya pembakaran dalam peristiwa Ashabul Ukhdud, maka tidak ada alasan bagi kaum Muslimin melengahkan saudara-saudara mereka di Genting Gaza yang sedang:
1. Disekat secara ekonomi.
2. Dikepung dari darat, laut, udara dan di bawah tanah.
3. Dibantai secara berterusan.
Orang-orang yang hidup di zaman peristiwa Ashabul Ukhdud tidak mendengar kisah itu kecuali setelah pembantaian mereka. Hal itu disebabkan oleh jarak yang sangat jauh dan tidak adanya prasarana komunikasi.
Namun sekarang, kita menyaksikan secara langsung detik-detik pembantaian itu di mana:
1. Bom diledakkan.
2. Orang-orang yang ditembak.
3. Rumah-rumah dirobohkan.
4. Tanah-tanah dirampas.
Lantas apakah alasan kita?
Tidak diragukan lagi bahwa pertanyaan di hadapan Allah mengenai sekatan, kepungan dan pembantaian ini akan sangat panjang! Tidak diragukan lagi bahwa itu akan susah untuk dijawab sehingga setiap Muslim mesti menyiapkan jawabannya!
Setidak-tidaknya, setiap Muslim menadahkan tangannya untuk berdoa bagi saudara-saudara mereka di sana, semoga Allah:
1. Mengukuhkan pendirian mereka.
2. Membebaskan mereka dari sekatan dan kepungan ini.
3. Menolong mereka menghadapi musuh-musuh mereka.
Paling tidak, seorang Muslim berkorban memberikan sumbangan bagi meringankan musibah mereka melalui harta dan pembiayaan hidup semampunya kerana itu adalah jihad yang sesungguhnya di jalan Allah swt.
Setidak-tidaknya, setiap Muslim di manapun mereka berada membicarakan topik tentang masalah Palestin sebagai ganti dari membicarakan tentang perkara-perkara lain yang melalaikan.
Setidak-tidaknya, setiap Muslim kembali menggandakan usaha boikot terhadap segala bentuk produk Yahudi dan AS bahkan sangat tidak logik pemimpin-pemimpin mereka mengeluarkan semua potensinya sehingga sanggup mengunjungi negara-negara Islam untuk mendukung Gerakan Zionis melalui bidang politik, ketenteraan dan ekonomi.
Sementara kita menemui seorang Muslim yang seolah-olahnya tidak mampu untuk meninggalkan atau memboikot terus dari:
1. Menikmati segelas air bergas Coca-cola.
2. Memakan ayam goreng KFC & MacDonalds.
3. Sekadar minum kopi di Starbucks!
Ini adalah masalah yang serius! Hari Kiamat akan datang tanpa diragukan lagi dan semua kita akan kembali kepadaNya.
Para pemimpin Muslim terutama negara-negara Arab di sekitar Palestin dilihat seakan-akan tidak berbuat apa-apa, maka sebenarnya merekalah yang melahirkan kehinaan dan penghinaan itu.
Mereka redha penghinaan terhadap agama dan kehormatan mereka. Tidak diragukan lagi bahwa perhitungan mereka di hadapan Allah swt amatlah sulit, walaupun mereka memiliki umur yang panjang tapi mereka akan tetap berhenti di hadapan Zat yang tidak akan pernah lalai dan tidur.
Allah swt berfirman :
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak." (QS Ibrahim : 42)
Setiap muslim bertanggungjawab terhadap masaalah Palestin kerana perkara ini sangat berkait dengan persoalan akidah. Allah swt dalam surah Al-Isra' menggandingkan antara Masjidil Haram dengan Masjid Al Aqsha yang berada di Palestin. Ini sebagai simbol keterkaitan yang kuat antara dua tempat suci tersebut.
Sebenarnya, boleh sahaja Allah memperjalankan Rasulullah saw dari Masjidil Haram terus ke langit, tanpa perlu ke Masjidil Aqsha di Palestin. Di sinilah isyarat dari Allah swt tentang keterkaitan yang kuat antara dua tempat suci itu.
Inilah tempat yang telah diamanahkan oleh para Nabi kepada kita, umat Islam untuk sentiasa menjaga Palestin dan di sini pula simbol kesucian tanah suci Islam, selain juga simbol kejayaan umat Islam.
Jika Palestin dirosakkan dan dikotori oleh tangan-tangan jahat Zionis Israel, itu bererti bahwa penodaan dan penghinaan terhadap tanah suci Islam yang juga menjadi milik umat Islam sedunia sehingga sudah menjadi kewajiban umat Islam di mana pun berada untuk membela perjuangan mujahidin di Palestin.
Perjuangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, dimulai dari bantuan tenaga secara terus, dana, doa dan lain-lain. Inilah yang menandakan wujudnya kecintaan kita kepada salah satu tanah suci Islam dan ini pulalah yang menunjukkan kecintaan kita terhadap saudara-saudara kita seakidah yang ketika ini sedang berjihad melawan musuh-musuh Islam.
GAZA DAN PERSAUDARAAN ISLAM
Dengan begitu sengitnya medan jihad di Gaza, ada hikmah yang boleh kita ambil dari jihad di Gaza iaitu sebuah pemandangan indah bagaimana persaudaraan Islam. Walaupun mereka tinggal jauh dari Palestin dan walaupun sebahagian penguasa umat Islam sudah menjadi boneka AS, tapi hati mereka begitu dekat dengan tanah Palestin yang ditunjukkan melalui berbagai dokongan kepada mujahidin di Gaza.
Inilah keindahan Islam yang ketika ini disaksikan oleh seluruh warga dunia dan ini pulalah yang akhirnya menarik simpati dunia termasuk dari warga bukan Islam yang terpanggil dari sisi kemanusiaan mereka untuk ikut membantu umat Islam Palestin khususnya di Gaza sebagaimana yang ditunjukkan dalam misi konvoi `Freedom Flotilla' penghantaran bantuan kemanusiaan terbesar sebanyak 10,000 tan melalui kapal Mavi Marmara yang diserang oleh komando Israel beberapa bulan lepas dan juga yang terbaru konvoi Kemanusiaan Global Jalan Darat ke Gaza Viva Palestina ke-5 (VP-5).
Konflik Gaza juga tiba-tiba menyedarkan umat Islam seluruh dunia terhadap kejahatan Israel. Kesedaran ini membangkitkan semangat jihad mereka yang mungkin sudah redup atau diredupkan oleh agen-agen Zionis di mana sahaja mereka tinggal.
Ketika inilah akhirnya umat Islam tersedar dengan apa yang selama ini menjadi moto mujahidin Hamas di Gaza iaitu `Ish Kariman au Mut Syahidan' atau `Hidup Mulia atau Mati Syahid'.
Hidup Mulia atau Mati Syahid juga bererti hiduplah dengan mulia dan matilah secara syahid atau menjadi seorang syuhada' merupakan sebuah ungkapan yang pertama kalinya dikemukakan oleh ibu Abdullah bin Zubair, iaitu Asma' Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair.
Konteks ungkapan itu juga sangat heroik kerana ia disampaikan oleh Asma' kepada puteranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran hingga ke titik darah yang terakhir melawan kekuasaan Yazid bin Muawiyah ketika itu.
Ungkapan ini menjadi istimewa kerana ia diucapkan oleh seorang Sahabat atau Sahabiat, yang di dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebahagian ulama' bahkan berpendapat bahwa ucapan Sahabat termasuk dalil syar'i yang boleh dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.
Asma' Binti Abu Bakar dalam Islam dikenali dengan gelaran "Dzatu An Nithaqayn" iaitu `Wanita Dengan Dua Tali Pinggang'. Beliau mendapat julukan ini kerana membawakan makanan untuk Rasulullah saw dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk membahagi tali pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.
Sementara itu, Abdullah bin Zubair, dikenali dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang berani dan sentiasa bersedia berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan seharian, beliau juga dikenali sangat tekun beribadah dan sebagaimana pesanan ibunya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.
Ulama' mendefinasikan ucapan sahabat sebagai :
"Apa sahaja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat pertentangan di dalamnya dengan dalil-dali syar'i (Al Qur'an dan Hadits), samada itu berupa perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) mahupun pendapat."
Kedudukan sahabat Rasulullah saw yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam adalah disebabkan kerana mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad saw.
Dengan yang demikian, merekalah, yakni para sahabat adalah golongan yang paling tahu dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak dalil Al Qur'an mahupun hadits yang menjelaskan kedudukan para sahabat dalam Islam yang begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk mengikuti mereka.
Beberapa ayat menjelaskan masalah tersebut, di antaranya :
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (QS At Taubah : 100)
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." (QS Al Fath : 18)
Dalam hadits Nabi saw, terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk sentiasa berpedoman kepada para sahabat, di antaranya :
"Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya (tabi'in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi'it tabi'in)." (HR Bukhari dan Muslim)
"Muliakanlah para shahabatku, kerana mereka adalah yang terbaik di antara kamu." (HR Ahmad, An Nasa'ie dan Al Hakim)
"Demi Allah, kamu akan sentiasa dalam kebaikan selama di antara kamu ada orang yang pernah melihatku dan bersahabat denganku." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Abi `Ashim, Ath Thabrani dan Abu Nu'aim)
"Bintang-bintang adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah penjaga para sahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi para sahabatku apa yang dijanjikan. Dan para sahabatku adalah para penjaga ummatku, apabila para sahabatku meninggal, maka akan datang bagi ummatku apa yang dijanjikan." (HR Muslim)
Disebabkan ucapan atau `qaul sahabat' juga merupakan dalil syar'ie yang boleh dijadikan `hujjah' dalam agama dan hasilnya dapat digunakan oleh umat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan `Ish Kariman au Mut Syahidan' yang diucapkan oleh ibu Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.
MAKNA HIDUP MULIA DALAM ISLAM
Secara fitrahnya, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap hari mereka sentiasa berdoa kepada Allah saw, agar diberikan kehidupan mulia di dunia dan begitu pula di akhirat iaitu `Rabbana atina fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban nar'. Hanya sahaja perlu diperjelaskan kehidupan seperti apakah yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup mulia dalam Islam hanya boleh tercapai jika tujuan dan fungsi manusia diciptakan oleh Allah swt mampu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan dan fungsi tersebut adalah menjadi:
1. Hamba Allah.
2. Khalifah Allah.
di muka bumi ini.
Kedua-dua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah swt:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS Az Dzaariyat: 56)
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: `Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…". (QS Al Baqarah : 30)
Kedua-dua tujuan dan fungsi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya boleh direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi.
Bahkan kehidupan mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang Muslim melainkan juga kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS Al Anbiyaa' : 107)
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan :
`Allah ta'ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam. Iaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi kamu semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya, nescaya dia akan merugi di dunia dan akhirat'.
Maka dapat difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai jika Risalah Islam beserta syariat Islam:
1. Diterima.
2. Diyakini.
3. Diamalkan.
1. Diterima.
2. Diyakini.
3. Diamalkan.
oleh manusia sebagai pedoman hidupnya dalam seluruh aspek kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai di dunia bahkan juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi seluruh alam semesta.
Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan seorang Muslim diarahkan sehingga walaupun dia belum berhasil mencapainya, namun dia telah mengusahakannya dan tetap yakin bahwa Allah swt suatu ketika pasti akan memberikan perkara tersebut kepada hamba-hambaNya.
Ini sebagaimana firman Allah swt :
"Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang soleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.Mmereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An Nuur : 55)
MENGAPA MATI SYAHID MENJADI IDAMAN?
Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin, telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di akhiratlah yang abadi dan mesti menjadi keutamaan dan diusahakan semaksima mungkin pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su'ul khatimah) kerana yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan seseorang adalah bahagian akhirnya, apakah berakhir atau menemui kematian dengan buruk (su'ul khatimah) atau berakhir dengan baik (husnul khatimah).
Nabi saw bersabda :
"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka padahal sesungguhnya ia termasuk ahli syurga, dan beramal dengan amalan ahli syurga padahal ia termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya amal-amal itu tergantung penutupannya." (HR Bukhari)
Syeikh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya "Al Jihaadu Sabiluna" mengatakan:
`Islam mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa mereka untuk terjun ke kancah-kancah peperangan dan pertempuran dalam rangka meninggikan kalimat Allah, memberanikan mereka untuk menerjang bahaya dan kesulitan demi memperolehi ridha Allah, serta memotivasi mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati tegar, dan jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah. Dan Allah telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut serta melimpahkan keutamaan dan anugerah di dalamnya.'
Beliau juga menjelaskan bahwa Allah swt telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karamah, anugerah, ketinggian maqam, dan ketinggian kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain seperti melalui solat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan `qurabah' (pendekatan diri kepada Allah) yang lain.
Dengan penjelasan ini, tidak hairanlah mengapa mati syahid menjadi kematian yang begitu tinggi kedudukan dan keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi dambaan setiap Muslim yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.
Beliau menjelaskan lagi dengan mengatakan :
"Penutup para nabi dan rasul, Muhammad saw, mengharapkan kedudukan ini. Perhatikan dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh sebaik-baik manusia ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.
`Demi jiwa Muhammad yang ada di tanganNya. Sungguh aku berharap boleh berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh'. (Al Hadits)
Hidup yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi saw dengan petunjuk Allah swt dalam sabda Baginda di atas. Baginda sangat menginginkan kedudukan ini. Orang yang bahagia adalah orang yang telah dipilih oleh Allah swt sebagai seorang syahid."
Syeikh Jabir bin Abdul Qayyum As Sa'idi Asy Syami dalam kitabnya "Al Ishabah Fii Thalabisy Syahaadah" menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada' itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, bahwasanya Nabi saw bersabda :
"Barangsiapa memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, nescaya Allah akan menyampaikannya ke darjat para syuhada' meskipun ia mati di atas katilnya. (HR Muslim, Tirmizi, Nasaiie dan Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Al Barra', ia berkata:
Seseorang dari kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada `ilah' (sembahan yang benar) kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah hamba dan utusanNya. Kemudian ia maju dan berperang sampai terbunuh. Maka Nabi saw bersabda:
"Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak". (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Oleh yang demikian, dalam pandangan Islam, sesungguhnya kejayaan yang paling utama dan anugerah yang paling baik yang diperolehi oleh seseorang itu adalah jika Allah memilihnya untuk mati syahid.
Nabi saw bersabda kepada seorang sahabat yang berdoa kepada Allah dengan mengucapkan :
`Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hambaMu yang soleh.'
Rasulullah saw bersabda kepada orang tersebut :
`Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah'.
Maka `Mut Syahidan' atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada' (orang yang berjihad di jalan Allah swt) adalah kedudukan yang sangat besar dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang layak untuk mendapatkannya.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra disebutkan :
"Dikatakan, "Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ? Nabi bersabda, "Kamu tidak mampu melaksanakannya." Lalu mereka mengulang pertanyaan itu tiga kali, dan semua dijawab, "Kamu tidak mampu melaksanakannya!" Lalu Nabi saw bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang puasa dan solat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan puasa dan solat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali." (HR Tirmizi)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwasanya Nabi saw bersabda:
`Tidak ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah, kemudian dia ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya kecuali orang yang mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : lantaran kemuliaan yang ia lihat'.
Jadi, tidak ada yang salah dengan mati syahid.
Mati syahid bukanlah sebuah kematian yang :
1. Sia-sia.
2. Terhina.
3. Perlu ditangisi.
4. Diperlecehkan.
5. Ditakuti.
1. Sia-sia.
2. Terhina.
3. Perlu ditangisi.
4. Diperlecehkan.
5. Ditakuti.
oleh seorang Muslim.
Ini adalah kerana mati syahid ketika memperjuangkan agama Allah swt atau jihad fi sabilillah adalah sebuah kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang telah dipilih oleh Allah swt.
Nabi Muhammad saw sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang mati syahid, di mana beliau begitu menginginkannya dan berharap boleh mencapainya.
Bukankah ini menjadi sebuah bukti yang tidak boleh dibantah lagi?
Adapun kehidupan mulia dalam Islam juga bukan bererti hidup mewah dan berpoya-poya serta lupa kepada Pencipta, Allah swt, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup pada ketika ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan sepenuhnya seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya dan juga sebagai khalifahNya.
Kehidupan mulia di dunia hanya boleh tercapai jika semua syariat Islam dilaksanakan secara `kaafah' (menyeluruh) sehingga tidak hanya orang Islam yang akan mendapatkan rahmat, orang bukan Islam juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta.
Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan mulia di dunia, iaitu dengan jalan sentiasa mengusahakan tertegaknya syariat Islam di muka bumi.
Dengan yang demikian, betapa indahnya matlamat serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah diucapkan oleh sahabat dan kini menjadi popular kembali, iaitu `Isy Kariman au Mut Syahidan' (Hidup Mulia Atau Mati Syahid). Kedua-duanya adalah kebaikan yang sangat diidamkan oleh setiap Muslim. Semoga kita dapat meraih salah satu dari keduanya, InsyaAllah.
Ya Allah, kuatkanlah perasaan persaudaraan dan prihatin kami terhadap saudara-saudara kami di Gaza. Sampaikanlah segala bantuan kemanusiaan dan barangan keperluan asasi yang dihantar ke sana kepada mereka-mereka yang memang memerlukannya dan selamatkanlah sukarelawan-sukarelawan yang membawa bekalan tersebut serta penerimanya dari ancaman musuhMu. Kurniakanlah kepada kami dan mereka salah satu dari dua kebaikan samada `Hidup Mulia Atau Mati Syahid'.
Ameen Ya Rabbal Alameen
Wan Ahmad Sanadi Wan Ali
JK Tarbiah IKRAM Shah Alam
"Ukhuwah Teras Kegemilangan"
No comments:
Post a Comment